TEMPO.CO, Jakarta - Kasus sengketa pajak Rp 3,06 triliun antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengemuka di awal tahun ini.
Munculnya kembali kasus ini ke permukaan merupakan kelanjutan dari permintaan Bursa Efek Indonesia (BEI) kepada PGN untuk menjelaskan pada 18 Desember 2020 lalu. Kemudian, pada 30 Desember 2020, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama merespon permintaan BEI ini dan menceritakan kronologi sengketa yang terjadi.
Menurut Rachmat, sengketa pajak PGN dengan DJP terkait transaksi tahun 2012 dan 2013. "Yang telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017 dan seterusnya,"kata Rachmat dalam surat penjelasan tersebut.
Pertama, sengketa pajak tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Kedua, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Pada Juni 1998, perseroan menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang Rp terhadap US$. Sementara sebelumnya, harga gas hanya dalam Rp/M3 saja.